Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

3 Landasan Teori Lahirnya Hak Asasi Manusia

 Di kalangan para ahli hukum terdapat tiga teori utama yang menjelaskan asal muasal lahirnya pemikiran mengenai hak asasi manusia, yakni teori hukum kodrati, positivisme, dan anti-utilitarian.

3 Landasan Teori Lahirnya Hak Asasi Manusia

1. Teori Hukum Kodrati

Pemikiran yang kemudian melahirkan teori hukum kodrati tidak lepas dari pengaruh tulisan-tulian santo Thomas Aquinas. Menurut Aquinas, hukum kodrati merupakan bagian dari hukum Tuhan yang dapat diketahui melalui penalaran manusia. Gagasan Aquinas meletakan dasar-dasar mengenai hak individu yang bersifat otonom. Setiap manusia dianugrahi identitas individual yang unik oleh Tuhan, dan hal ini terpisah oleh Negara. Namun gagasan Aquinas menuai banyak kritik karena tidak empiris, bagaimana kita tahu Tuhan telah memberikan hak tertentu pada semua orang. Hugo de Groot, atau dekenal dengan Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrat Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang theistic dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional. Menurut Grotius eksistensi hukum kodtrat dapat diketahui dengan menggunakan penalaran yang benar, dan derajat kesahihannya tidak bergantung pada Tuhan. Hukum kodrati yang merupakan landasan hukum positif atau hukum tertulis, dapat dirasionalkan dengan menggunakan aksional logika dan ilmu ukur. Sepanjang Abad 17, pandangan Grotius terus disempurnakan. Melalui teori ini hak-hak individu yang subyekstif diterima dan diakui.[1]

Tokoh yang dianggap paling berjasa dalam meletakan dasar-dasar teori hukum kodrati ialah John Locke dan JJ Rousseau. Dalam buku klasiknya: “The Second Trities of Civil Government and a Letter Concerning Toleration”, John Locke mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh Negara. Melalui suatu ―kontrak social‖ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan pada Negara. Apabila penguasa Negara mengabaikan kontrak social itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di Negara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantinya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut.[2]

2. Teori Positivisme atau Utilitarian

Dalam pandangan teori positivisme hak barulah ada jika ada hukum yang telah mengaturnya. Moralitas juga harus dipisah secara tegas dalam dimensi hukum. Adapun kepemilikan hak dari tiap individui bisa dinikmati apabila diberikan secara resmi oleh penguasa atau Negara. Dan yang paling menonjol dalam pandangan ini ialah mempriorotaskan kesejahteraan mayoritas. Sedangkan kelompok minoritas yang preferensinya tidak diwakili oleh mayoritas bisa diabaikan dan kehilangan hak-haknya.

Tokoh-tokoh dari teori ini adalah Edmund Burke, Hume, Jeremy Bentham dan John Austin..

3. Teori Keadilan

 Teori keadilan lahir dari kritik terhadap teori positivism. Tokoh yang mengembangkan teori ini ialah Ronald Drowkin dan John Rawls. Teori Drowkin sangat mendasarkan pada kewajiban untuk memperlakukan warganya secara sama yang di emban Negara. Tentunya, nilai-nilai moral, kekuasaan, atau menggunakan pendasaran lainnya sebagai alasan untuk mengesampingkan hak asasi manusia kecuali prinsip perlakuan sama itu sendiri. Oleh karenanya hak asasi manusia dimaksudkan sebagai benteng atau “trump” dalam istilah yang digunakannya sendiri individu atas kehendak public yang merugikan atau yang menjadikannya tidak mendapat perlakuan yang sama. Tapi tidak semua hak memiliki natur sebagai “trump’’dapat dijadikan sebagai “benteng” terhadap kehendak public. Kelompok hak yang tergolong dalam kelompok ini adalah non-hak asasi manusia hak yang tidak fundamental. Missal, hak untuk mendirikan sebuah tempat tinggal di suatu tempat. Hak seperti ini dapat dilanggar oleh pemerintah tetapi apabila didasarkan pada alasan terdapatnya kepentingan umum yang lebih besar.[3]

Gagasan lainnya adalah pandangan dari John Rawls yang kemudian mengenalkan konsep soal keadilan distributive. Ada dua hal penting dalam hal ini, yakni keadilan (fairness) dan kesamaan. Pertama, setiap orang mepunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, ketimpangan ekonomi dan social mesti diatur sedemikian rupa agar menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi mereka yang paling kurang beruntung dan menyediakan suatu system akses yang sama dan peluang yang sama.[4]



[1] J. A, Denny, Menjadi Indonesia tanpa Diskriminasi, ctk. Pertama (Jakarta: Gramedia, 2013), hlm. 8

[2] Rhona K.M Smith, et. al., Hukum Hak Asasi Manusia, ctk. Pertama (Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, 2008), hlm 12

[3] Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional, ctk. Pertama (Jakarta: IMR Press, 2012), hlm. 57-58

[4] John Rawls, Teori Keadilan, ctk. Pertama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 72-77

Zein Sakti
Zein Sakti Orang yang mencari peruntungan di dunia blogging

Posting Komentar untuk "3 Landasan Teori Lahirnya Hak Asasi Manusia"