Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Alat-Alat Bukti (bewijsmiddelen) yang Sah dalam KUHAP

Perihal pembuktian di dalam KUHAP diatur pada Bab XVI Bagian ke empat dari Pasal 183 sampai dengan Pasal 189.

Alat-Alat Bukti (bewijsmiddelen) yang Sah dalam KUHAP

Di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dinyatakan, alat bukti yang sah ialah:

a.           keterangan saksi

b.           keterangan ahli

c.           surat

d.           petunjuk

e.           keterangan terdakwa

 

a. Keterangan saksi

Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah ini harus memenuhi dua syarat, yaitu:

1.           syarat formil

2.           syarat materiil

Yang dimaksud dengan syarat formil ialah bahwa keterangan saksi dianggap sah apabila diberikan di bawah sumpah (Pasal 160 ayat (3) KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan syarat materiil di sini ialah bahwa materi (isi) kesaksian dari seorang saksi itu harus mengenai hal-hal yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP). Dan, menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP keterangan saksi tersebut harus dinyatakan di sidang pengadilan. Di dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) dinyatakan bahwa dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.

Dalam hal ini penjelasan Pasal 161 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keteranagan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Sedangkan dalam Pasal 185 ayat (7) KUHAP dinyatakan bahwa keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Selanjutnya Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Dalam kaitannya dengan ini hukum acara pidana mengenal asas yang dimuat dalam pepatah Romawi, yang mengatakan ”unus testis nullus testis” atau dalam bahasa Belanda ”een getuige is geen getuige” (satu saksi bukan saksi). Akan tetapi hal ini tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (lihat Pasal 185 ayat (3) KUHAP).

Namun, menurut ilmu pengetahuan hukum acara pidana dan yurisprudensi, keterangan seorang saksi saja dapat dipakai untuk membuktikan salah satu unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.

 Pasal 185 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

Menurut Pasal 184 ayat (2) KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi. Hal semacam ini hanya berlaku untuk perkara singkat (summier) dan perkara biasa, tidak berlaku untuk pemeriksaan perkara cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah. Sehingga apabila dalam perkara cepat telah ada satu alat bukti, misalnya satu keterangan saksi atau satu keterangan ahli atau satu keterangan terdakwa dalam hal itu dapat meyakinka hakim tentang kesalahan terdakwa, maka hakim dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa. 

Mengenai bagaimana cara menilai atas kebenaran seorang saksi, maka di dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP diberikan petunjuk agar hakim harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang

1.           Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain.

2.           Persesuaian antara keterangan saksi untuk memberikan keterangan tertentu.

3.           Alasan yang mingkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu.

4.           Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Semua orang dapat menjadi saksi kecuali jika dikecualikan oleh undang-undang. Di dalam KUHAP ada dua kelompok orang yang dikecualikan yang dikecualikan dri kewajibannya menjadi saksi, yaitu:

1.           Orang-Orang yang Disebut dalam Pasal 168 KUHAP

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat tiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunya hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ke tiga.

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

2. Orang-orang yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai saksi (Pasal 170 KUHAP).

Mereka yang disebut oleh Pasal 170 KUHAP tersebut juga mempunyai hak tolak (verschoningsrecht) untuk menjadi saksi, yaitu sepanjang hal yang dipercayakan kepada dalam kaitannya dengan rahasia jabatannya itu.

Adapun orang yang wajib menyimpan rahasia jabatan inisalnya dokter yang harus merahasia penyakit yang diderita oleh pasiennya. Begitu pula inisalnya notaris, pegawai bank, advokat, wartawan yang menurut undang-undang wajib menyimpan rahasia jabatannya. Sedangkan orang yang karena harkat martabatnya wajib menyimpan rahasia adalah pastor katholik. Ini sehubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang mengemukakan pengakuan dosa kepada pastor tersebut.

Orang-orang yang disebut oleh Pasal 171 KUHAP, yang boleh diperiksa tanpa sumpah ialah :

a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah  kawin

b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.

Pengucapan sumpah merupakan syarat formil dalam kesaksian agar dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah. Sehubungan dengan itu Penjelasan Pasal 161 ayat ( 2 ) KUHAP mengatakan bahwa keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.

 

b. Keterangan  ahli

Penafsiran otentik mengenai keterangan ahli dimuat dalam Pasal 1 butir 28 yang menyatakan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang meiniliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

 Menurut Pasal 186 KUHAP, keterangan ahli harus dinyatakan oleh ahli tersebut di sidang pengadilan. Namun, keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberi keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.

Dalam pada itu, Pasal 179 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

 Perlu ditekankan di sini, bahwa menurut ayat (2) dari Pasal tersebut dinyatakan bahwa semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

Walaupun KUHAP hanya memakai satu istilah saja yaitu "ahli" untuk saksi ahli, namun secara teoritis terdapat tiga macam ahli yang terlibat dalam suatu proses peradilan. Mereka itu adalah :

1. ahli ( deskundige )

Orang ini hanya mengemukakan pendapatnya tentang suatu persoalan yang ditanyakan pendapatnya tanpa melakukan suatu pemeriksaan.

2. saksi ahli (getuige deskundige)

Orang ini menyaksikan barang bukti atau saksi diam (silent witness), ia melakukan pemeriksaan dan mengemukakan pendapatnya. Sebagai contoh inisalnya seorang dokter yang melakukan pemeriksaan terhadap mayat. Jadi ia menjadi saksi karena menyaksikan barang bukti itu (mayat) dan kemudian menjadi ahli, karena mengemukakan pendapatnya tentang sebab kematian orang itu.

3. orang ahli (zaakkundige)

Orang ini menerangkan tentang sesuatu persoalan yang sebenarnya juga dapat dipelajari sendiri oleh hakim, tetapi akan memakan banyak waktu. Sebagai contoh inisalnya seorang pegawai Bea dan Cukai diminta menerangkan prosedur pengeluaran dan dari pelabuhan atau seorang karyawan Bank diminta penerangkan prosedur untuk mendapatkan kredit dari Bank.

Dapat disimpulkan bahwa alat bukti keterangan ahli itu yaitu apabila ahli tersebut menyatakannya di sidang pengadilan dengan bersumpah atau berjanji atau ia menyatakan ada waktu diperiksa oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

Sedangkan apabila ahli tersebut secara tertulis memberikan keterangan tanpa diperiksa oleh penyidik atau penuntut umum atau tanpa diperiksa di muka hakim, maka hal itu menurut Pasal 187 sub c KUHAP termasuk alat bukti "surat". Sebagai contoh inisalnya ialah "visum et repertum" yang dibikin oleh dokter Kedokteran Kehakiman.

 

c. Alat bukti surat

Asser-Anema memberikan definisi surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.

Hendaknya dibedakan di sini antara surat sebagai alat bukti dengan surat sebagai barang bukti (stukken van overtuiging). Surat sebagai barang bukti adalah surat yang dipergunakan atau hasil dari kejahatan (corpus delicti). Sebagai contoh inisalnya surat berisi ancaman yang dipakai dalam melakukan tindak pidana pemerasan atau surat palsu yang dipakai dalam tindak pidana penipuan.

Sedangkan surat sebagai alat bukti, secara rinci telah diatur dalam Pasal 187 KUHAP sebagai berikut :

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atau sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah  :

a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resini yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaininya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

 c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resini daripadanya.

d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Dengan demikian maka dapat digolongkan menurut Pasal 187 KUHAP adanya dua macam surat, yaitu surat resini (authentieke acte) seperti dimuat dalam Pasal 187 huruf a, b dan c serta surat di bawah tangan (orderhansgeschrift) seperti dimuat dalam huruf d.

 

Menurut Pasal 187 KUHAP huruf d, surat di bawah tangan ini pun masih mempunyai daya bukti jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Sebagai contoh inisalnya keterangan saksi yang menerangkan bahwa ia (saksi) telah menyerahkan uang kepada terdakwa. Keterangan itu merupakan satu-satunya alat bukti di samping selembar tanda terima (kuitansi) yang ditanda tangani oleh terdakwa. Meskipun terdakwa menyangkal telah menerima uang tersebut, dengan bukti surat berupa kuitansi yang ada hubungannya dengan keterangan saksi tentang pemberian uang kepada terdakwa, cukup sebagai bukti ininimum sesuai dengan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 187 huruf d KUHAP.

 

d. Alat bukti petunjuk

KUHAP masih menggunakan petunjuk sebagai alat bukti. Menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya.

Jadi, sama halnya dengan bukti berantai (kettingsbewijs) bahwa petunjuk itu bukanlah alat pembuktian yang langsung, tetapi pada dasarnya adalah hal-hal yang disimpulkan dari alat-alat pembuktian yang lain, yang menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP hanya dapat diperoleh dari :

1. keterangan saksi.

2. surat.

Sehubungan dengan itu, maka di dalam ayat ( 3 ) Pasal tersebut dinyatakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh cermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

 

e. Keterangan terdakwa

Penyebutan "keterangan terdakwa" sebagai alat bukti yang sah seperti dimuat dalam Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP adalah berbeda dengan hukum acara pidana lama (HIR), yang menyebut dengan istilah "pengakuan terdakwa" sebagai alat bukti yang sah di dalam Pasal 195 HIR.

Adapun perbedaan antara pengakuan terdakwa (bekentenis) dengan keterangan terdakwa (erkentenis), yaitu bahwa pengakuan sebagai alat bukti harus memenuhi syarat-syarat :

1. terdakwa mengaku bahwa ia yang melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

2. terdakwa mengaku bahwa dia yang bersalah

 Sedangkan keterangan terdakwa mempunyai makna yang lebih luas dari pada pengakuan terdakwa, yang menurut Pasal 1889 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alaimi sendiri.

Zein Sakti
Zein Sakti Orang yang mencari peruntungan di dunia blogging

Posting Komentar untuk "Alat-Alat Bukti (bewijsmiddelen) yang Sah dalam KUHAP"