Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Analisis Kasus Pembajakan Pesawat Ditinjau dari Hukum Internasional

Yuridiksi Negara jika terjadi kasus pembajakan pesawat telah di atur dalam Tokyo 1963, Konvensi Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971.

Dalam pasal 3 ayat (1) , yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun pidana kejahatan adalah negara pendaftar pesawat negara. [1]

Analisis Kasus Pembajakan Pesawat Ditinjau Hukum Internasional

Masih di konvensi yang sama dalam pasal 4 disebutkan bahwa Negara-negara yang bukan negara dimana pesawat didaftarkan pada pokoknya tidak dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap kejahatankejahatan yang dilakukan diatas pesawat udara, kecuali apabila :

 1. Kejahatan/pelanggaran tersebut mempunyai pengaruh terhadap wilayahnya,

 2. Kejahatan atau pelanggaran tersebut dilakukan atau ditujukan secara permanen di wilayah negaranya,

3. Kejahatan atau pelanggaran tersebut ditujukan terhadap keamanan negaranya, dan

4. Pelaksanaan yurisdiksi tersebut perlu untuk pentaatan setiap kewajiban negara tersebut menurut suatu perjanjian internasional. [2]

Menurut Konvensi Hague Mengenai yurisdiksi,  dalam Pasal 4 ayat (1), di mana pasal tersebut menegaskan bahwa negara-negara peserta konvensi mempunyai kewajiban untuk mengambil Langkah-langkah yang perlu untuk menetapkan yurisdiksinya atas tindakan perbuatan melawan hukum terhadap pesawat udara.

 Adapun Pasal 4 ayat (1) memberikan kewenangan tersebut kepada negara seperti:

1. Negara tempat pesawat tersebut didaftarkan;

2. Negara tempat pesawat udara mendarat, dan pelaku tindak pidana tersebut ikut berada di dalamnya; dan

3. Negara yang menjadi pusat bisnis atau tempat kedudukan tetap dari penyewa pesawat udara tanpa awak.[3]

Berkaca pada ketentuan di atas, terlihat bahwa kewenangan dan kewajiban untuk mengambil langkah-langkah menetapkan yurisdiksi tidak mutlak dimiliki oleh negara tempat pesawat tersebut didaftarkan walaupun tetap harus diutamakan bagi negara pendaftar pesawat. [4]

Selanjutnya di dalam Pasal 4 ayat (2) ditegaskan bahwa negara tempat ditemukannya pelaku pembajakan udara harus menegakkan yurisdiksinya terhadap pelaku. Jika enggan untuk menegakkan yurisdiksinya, maka negara tersebut bisa mengekstradisi ke salah satu negara yang termasuk di dalam Pasal 4 ayat (1). [5] Jenis yurisdiksi ini termasuk ke dalam jenis universal jurisdiction, karena ketentuan tersebut berlaku kepada semua peserta konvensi.

Yuridiksi negara dalam kasus pembajakan pesawat juga diatur dalam serta Konvensi Montreal 1971 Pasal 5 ayat (1). yang berbunyi:

‘Setiap negara anggota konvensi harus mengambil tindakan-tindakan yang dianggap diperlukan untuk menetapkan yurisdiksinya atas perbuatan melawan hukum jika:

(a) saat kejahatan tersebut dilakukan di wilayah negara tersebut;

 (b) saat kejahatan tersebut dilakukan di pesawat yang terdaftar di negara tersebut;

 (c) saat pesawat terbang yang telah mendarat di wilayah negara tersebut dengan terduga pelaku kejahatan penerbangan masih berada di dalam pesawat terbang;

(d) saat kejahatan dilakukan di pesawat udara tanpa awak, penyewa pesawat tersebut memiliki tempat usaha penerbangannya di negara tersebut, atau jika penyewa pesawat tidak memiliki tempat usahanya, maka tempat tinggal si penyewa pesawat tersebut bisa dijadikan dasar).[6]

Dalam  kasus pembajakan Pan AM 73 tersebut negara yang mempunyai yuridiksi dengan mengirim pasukan khsus untuk melakukan misi penyelamatan Adalah Pakistan dan yang mengadili pelaku adalah Pakistan juga.

Jadi meskipun dikatakan dalam konvensi Tokyo dan Hague bahwa yang utama yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun pidana kejahatan pada pesawat terbang adalah negara pendaftar pesawat negara namun dalam penerapannya hal tersbut tidak mutlak.

Dalam pembajakan Pan AM 73 tersebut negara yang mempunyai yuridiksi adalah Pakistan yang notabenenya adalah bukan negara tempat pesawat didaftarkan tapi negara di mana pesawat terbang yang dibajak telah mendarat di wilayah negara tersebut dengan terduga pelaku kejahatan penerbangan masih berada di dalam pesawat terbang.

Dalam hal ini Pakistan menerapkan yuridiksi teritorialnya atas kasus tersebut. Menurut yuridiksi tersebut setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan prinsi-prinsip lain, prinsip teritorial merupakan prinsip yang tertua, terpopuler dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam Hukum Internasional.

Dasar hukumnya adalah konvensi Tokyo 1963 pasal 4 disebutkan bahwa Negara-negara yang bukan negara dimana pesawat didaftarkan pada pokoknya tidak dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan diatas pesawat udara, kecuali apabila:

 1. Kejahatan/pelanggaran tersebut mempunyai pengaruh terhadap wilayahnya,

 2. Kejahatan atau pelanggaran tersebut dilakukan atau ditujukan secara permanen di wilayah negaranya,

3. Kejahatan atau pelanggaran tersebut ditujukan terhadap keamanan negaranya, dan

4. Pelaksanaan yurisdiksi tersebut perlu untuk pentaatan setiap kewajiban negara tersebut menurut suatu perjanjian internasional.

dalam kasus ini Pakistan adalah tempat kejahatan tersebut terjadi dan Kejahatan/pelanggaran tersebut mempunyai pengaruh terhadap wilayah Pakistan sehingga Pakistan dapat melakukan yuridiksinya.

Selain itu menurut Konvensi hague Adapun Pasal 4 ayat (1) poin dua yang mengatakan bahwa negara-negara peserta konvensi mempunyai kewajiban untuk mengambil Langkah-langkah yang perlu untuk menetapkan yurisdiksinya atas tindakan perbuatan melawan hukum terhadap pesawat udara. Jadi Pakistan mempunyai kewajiban untuk menerapkan yuridiksinya karena Negara tersebut adalah negara tempat pesawat udara mendarat, dan pelaku tindak pidana tersebut ikut berada di dalamnya. Hal yang sama dikatakan dalam Konvensi Montreal 1971 Pasal 5 ayat (1) pin c dimana negara- negara anggota konvensi harus mengambil tindakan-tindakan yang dianggap diperlukan untuk menetapkan yurisdiksinya atas perbuatan melawan hukum jika saat pesawat terbang yang telah mendarat di wilayah negara tersebut dengan terduga pelaku kejahatan penerbangan masih berada di dalam pesawat terbang.

 

Referensi:

[1] Art 3 (1) Tokyo Convention 1963.

[2] Art 4  Tokyo Convention 1963.

[3] Art 4 (1)  The Hague Convention 1970.

[4] Manullang, Y. N., Hartono  Widodo, Angwarmasse, P. Y. (2019). ASPEK HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP YURISDIKSI DALAM MENGADILI PELAKU PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA,  1(3). Jurnal Krisna Law diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana.

[5] Art 4 (2)  The Hague Convention 1970.

[6] Art 5 (1)  Montreal Convention 1971.

Zein Sakti
Zein Sakti Orang yang mencari peruntungan di dunia blogging

Posting Komentar untuk "Analisis Kasus Pembajakan Pesawat Ditinjau dari Hukum Internasional"