Kewenangan DPR dalam Penetapan Perkara Pelanggaran HAM Berat di Masa Lampau
Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran HAM berat, berdasarkan pada Penjelasan Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000, DPR mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.
Berdasarkan Penjelasan Pasal Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan dugaan, berarti menunjukkan bahwa DPR haruslah memberikan penilaian (judgement) terlebih dahulu sebelum mengajukan usul pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc mengenai ada atau tidaknya pelanggaran HAM berat di masa lampau. Hal ini, seolah-olah DPR telah melakukan fungsi penegak hukum. Padahal ketika melihat frasa dugaan tersebut, secara normatif dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 26 Tahun 2000, dijelaskan bahwa:
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.”
Sehingga berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 26 Tahun 2000, maka dugaan merupakan suatu bagian dari sebuah tindakan hukum penyelidikan. Mengenai kewenangan penyelidikan tersebut tidak dimiliki oleh DPR, namun sejatinya terkait penyelidikan khusus terkait pelanggaran HAM berat itu dimiliki oleh Komnas HAM, sesuai Pasal 18 ayat (1) UndangUndang Pengadilan HAM. Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 dijelaskan bahwa:
"Kewenangan penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga yang bersifat independen"
Berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000, dapat dilihat bahwa alasan Komnas HAM sebagai satu-satunya yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam rangka melakukan dugaan adanya pelanggaran HAM berat adalah untuk menjaga objektivitas akan hasil penyelidikan.
Hasil dari putusan MK No. 18/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, DPR harus memperhatikan hasil penyelidikan oleh Komnas HAM dan hasil penyidikan oleh Jaksa Agung sesuai ketentuan Undang-Undang Pengadilan HAM sehingga DPR tidak berwenang untuk serta merta menduga tanpa memperoleh atau memiliki hasil penyelidikan dan penyidikan dari kedua institusi tersebut.
Berlakunya Putusan MK No. 18/PUU-V/2007 memberikan norma hukum baru yaitu dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, DPR harus memperhatikan hasil penyelidikan oleh Komnas HAM dan hasil penyidikan oleh Jaksa Agung sesuai ketentuan Undang-Undang Pengadilan HAM sehingga DPR tidak berwenang menduga tanpa memperoleh atau memiliki hasil penyelidikan dan penyidikan dari kedua institusi tersebut. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kata “dugaan” dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) bertentangan dengan Konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan Penjelasan Pasal Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan dugaan, berarti menunjukkan bahwa DPR haruslah memberikan penilaian (judgement) terlebih dahulu sebelum mengajukan usul pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc mengenai ada atau tidaknya pelanggaran HAM berat di masa lampau. Hal ini, seolah-olah DPR telah melakukan fungsi penegak hukum. Padahal ketika melihat frasa dugaan tersebut, secara normatif dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 26 Tahun 2000, dijelaskan bahwa:
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.”
Sehingga berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 26 Tahun 2000, maka dugaan merupakan suatu bagian dari sebuah tindakan hukum penyelidikan. Mengenai kewenangan penyelidikan tersebut tidak dimiliki oleh DPR, namun sejatinya terkait penyelidikan khusus terkait pelanggaran HAM berat itu dimiliki oleh Komnas HAM, sesuai Pasal 18 ayat (1) UndangUndang Pengadilan HAM. Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 dijelaskan bahwa:
"Kewenangan penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga yang bersifat independen"
Berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000, dapat dilihat bahwa alasan Komnas HAM sebagai satu-satunya yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam rangka melakukan dugaan adanya pelanggaran HAM berat adalah untuk menjaga objektivitas akan hasil penyelidikan.
Hasil dari putusan MK No. 18/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, DPR harus memperhatikan hasil penyelidikan oleh Komnas HAM dan hasil penyidikan oleh Jaksa Agung sesuai ketentuan Undang-Undang Pengadilan HAM sehingga DPR tidak berwenang untuk serta merta menduga tanpa memperoleh atau memiliki hasil penyelidikan dan penyidikan dari kedua institusi tersebut.
Berlakunya Putusan MK No. 18/PUU-V/2007 memberikan norma hukum baru yaitu dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, DPR harus memperhatikan hasil penyelidikan oleh Komnas HAM dan hasil penyidikan oleh Jaksa Agung sesuai ketentuan Undang-Undang Pengadilan HAM sehingga DPR tidak berwenang menduga tanpa memperoleh atau memiliki hasil penyelidikan dan penyidikan dari kedua institusi tersebut. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kata “dugaan” dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) bertentangan dengan Konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Posting Komentar untuk "Kewenangan DPR dalam Penetapan Perkara Pelanggaran HAM Berat di Masa Lampau "