Pembatasan Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Kewenangan mengadili dapat dibagi dalam kekuasaan kehakiman atribusi (atributie van rechtmacht) dan kekuasaan kehakiman distribusi (distributie van rechtsmacht). Atribusi kekuasaan kehakiman adalah kewenangan mutlak atau keompetensi absolut ialah kewenangan badan pengadilan didalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain.
a.
Kompetensi absolut PTUN
kompetensi
absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut
obyek, materi atau pokok sengketa. Sedangkan menurut Soedikno Mertokusumo, kompetensi
absolut atau kewenangan mutlak pengadilan adalah wewenang badan pengadilan
dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa
oleh badan pengadilan dalam lingkungan pengadilan lain. Kompetensi absolut
peradilan tata usaha negara menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, adalah mengadili sengketa tata usaha negara antara
orang atau badan hukum perdata melawan badan/pejabat tata usaha negara, akibat
diterbitkannya keputusan tata usaha negara.
b.
Komptensi Relatif PTUN
Kompetensi
relatif merupakan kewenangan memeriksa/mengadili perkara berdasarkan pembagian
daerah hukum (distribusi kekuasaan). Kompetensi Relatif ini diatur dalam pasal
6 Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang PERATUN, yang menyatakan bahwa;
1)
Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota;
2)
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di Ibukota Provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Mengenai susunan Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, oleh Pasal 8 Undang-Undang PERATUN ditentukan bahwa Pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha negara terdiri dari; 1) Pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama (PTUN); 2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang merupakan pengadilan tingkat banding.
Pembatasan kewenangan PTUN
a.
Pembatasan Langsung
Pembatasan
langsung adalah pembatasan yang tidak memungkinkan sama sekali bagi PTUN untuk
memeriksa dan memutus sengketa tersebut. Pembatasan langsung ini terdapat dalam
Penjelasan Umum, Pasal 2 dan Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986. Berdasarkan Pasal 2
UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 menentukan, bahwa tidak termasuk
Keputusan tata usaha negara menurut UU ini :
a.
Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
b.
Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
c.
Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan.
d.
Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan Kitab UndangUndang
Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
e.
Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan
peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f.
Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia.
g.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil
pemilihan umum.
Pasal
49, Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan tata usaha negara yang
disengketakan itu dikeluarkan :
a.
Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar
biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pembatasan langsung juga berlaku untuk ketentuan tentang sengketa di lingkungan peradilan militer.
b.
Pembatasan tidak langsung
Pembatasan
tidak langsung adalah pembatasan yang masih membuka kemungkinan bagi PT.TUN
untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa administrasi dengan
ketentuan seluruh upaya administratif yang tersedia telah ditujukan terlebih
dahulu oleh Orang/ Badan Hukum Perdata.
Pembatasan
tidak langsung tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peratun sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004
dan UU No. 51 tahun 2009 yang berbunyi :
(1)
Dalam hal suatu Badan atau Pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau
berdasarkan peraturan perundangundangan untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui
upaya administratif yang tersedia.
(2)
Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya
adminisratif yang bersangkutan telah digunakan.
Berdasarkan pembatasan tidak langsung
tersebut, jika upaya administratif (administratief beroep) yang tersedia telah
ditempuh dan pihak Penggugat masih dirugikan, maka secara tegas dalam ketentuan
pasal 51 ayat 3 Undang-Undang Peardilan Tata Usaha Negara yang berbunyi sebagai
berikut : ”Pengadilan Tinggi Tata Usaha Ngara bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.”
c.
Pembatasan langsung yang bersifat sementara
Pembatasan ini bersifat langsung karena tidak
terbuka kemungkinan sama sekali bagi Peratun untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikannya, akan tetapi hal tersebut hanya bersifat sementara karena
kompetensi absolut Peradilan TUN tersebut berlaku bagi sengketa Tata Usaha
Negara yang sedang diadili oleh Peradilan Umum pada saat terbentuknya Peradilan
TUN, hal tersebut diatur dalam pasal 142 ayat (1) Undang-Undang Peradilan TUN
yang menyebutkan :
”
Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut
Undang-undang ini belum diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum
tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.”
Dalam perkembangannya setelah 18 tahun Peratun
berdiri, kompetensi absolut Peradilan TUN tersebut dibatasi pula oleh lahirnya
peraturan perundang-undangan yang baru serta yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia, yaitu antara lain :
1.
Pembatasan karena lahirnya Peraturan perundang-undang yang baru :
a.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Pengadilan Hubungan Industrial.
Sebelum
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, perselisihan antara buruh dengan pengusaha
diselesaikan oleh P4-D Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah,
apabila ada yang tidak puas perselisihan dibawa ke P4-P atau Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat, apabila masih ada yang belum puas
berdasarkan pasal 48 Undang-Undang Peratun dapat diajukan ke PT.TUN, sesudah
lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tersebut maka penyelesaian perselisihan
perburuhan diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI);
b.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2004 Tentang Pengadilan Pajak.
Sebelum
Undang-Undang No. 14 Tahun 2004 terbit sengketa yang timbul karena adanya
perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pejabat yang berwenang
diselesaikan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), berdasarkan
Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 Tentang BPSP, apabila ada pihak yang tidak puas
diselesaikan melalui MPP (Majelis Pertimbangan Pajak) dan apabila masih ada
yang belum puas dapat mengajukan gugatan ke PT.TUN berdasarkan pasal 48
Undang-Undang Peratun, sesudah terbitnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2004
penyelesaian sengketa pajak diselesaikan melalui Pengadilan Pajak;
c.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah sebagimana telah
diperbaharui dengan UndangUndang No. 12 Tahun 2008. Sengketa mengenai Pemilu
dan Pemilihan Kepala Daerah menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi, sebelumnya
sengketa yang tidak berkaitan dengan penetapan hasil Pemilu menjadi wewenang Peratun.
2.
Pembatasan Karena Yurisprudensi MA RI
Beberapa Keputusan yang tidak dapat menjadi
objek di Peradilan Tata Usaha karena adanya yurisprudensi MA RI, antara lain :
a)
Risalah Lelang
Kaidah
hukumnya adalah bahwa risalah lelang bukan merupakan keputusan badan atau
pejabat TUN, tetapi merupakan berita acara hasil penjualan barang, karena tidak
ada unsur “beslissing” maupun pernyataan kehendak dari kantor lelang,
pelelangan yang dilakukan oleh kantor lelang adalah atas permintaan Pengadilan
Negeri, sehingga apa yang dilakukan oleh kantor lelang merupakan tindak lanjut
dari Putusan Pengadilan sehingga termasuk ketentuan pasal 2 Undang-Undang
Peratun (No. 150K/TUN/1994, tanggal 7-9-1995) jo No. 47 K/TUN/1997, tanggal
26-01-1998 jo No. 245 K/TUN/1999, tanggal 30-8- 2001);
b)
Sengketa Kepemilikan Tanah
Kaidah
hukumnya adalah bahwa Keputusan TUN yang berkaitan dengan kepemilikan tanah
tidak termasuk wewenang Peradilan Tata Usaha Negara, melainkan wewenang
Peradilan Umum dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. (No. 22
K/TUN/1998, tanggal 27-7-2001 jo 16 K/TUN/2000, tanggal 28-2-2001 jo 93
K/TUN/1996, tanggal 24-2-1998);
c)
Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan dalam rangka untuk menimbulkan
perjanjian
kaidah
hukumnya adalah bahwa segala Keputusan TUN yang diterbitkan dalam rangka untuk
menimbulkan perjanjian maupun diterbitkan dalam kaitannya dengan pelaksanaan
isi perjanjian itu sendiri, ataupun menunjuk pada suatu ketentuan dalam
perjanjian (kontrak) yang menjadi dasar hukum antara kedua belah pihak,
haruslah dianggap melebur (oplossing) kedalam hukum perdata, dan karenanya
merupakan Keputusan TUN sebagaimana dimaksud pasal 2 huruf a Undang-Undang
Peratun. (No.252 K/TUN/2000 tanggal 13-11-2000);
d)
Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT
Kaidah
hukumnya adalah bahwa PPAT adalah Pejabat TUN, karena melaksanakan urusan
Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1
ayat 2 Undang-Undang no.5 Tahun 1986 jo pasal 19 PP no. 110 Tahun 1961) akan
tetapi akta jual yang dibuat oleh PPAT bukan merupakan Keputusan TUN karena
bersifat bilateral (kontraktual) tidak bersifat Unilateral yang merupakan sifat
Keputusan TUN (No. 302 K/TUN/1999, tanggal 8-2-2000 jo No. 62 K/TUN/1998,
tanggal 27-7-2001);
e)
Keputusan yang merupakan perbuatan hukum dalam ruang lingkup politik
kaidah hukumnya adalah bahwa pemilihan kepala
desa merupakan perbuatan hukum yang termasuk dalam ruang politik dan didasarkan
pada pandanganpandangan politik para pemilih maupun yang dipilih, hasil
pilkades juga merupakan hasil dari suatu pemilihan yang bersifat umum
dilingkungan desa yang bersengketa, oleh karenanya keputusan hasil pilkades
tidak termasuk pengertian Keputusan TUN sebagaimana pasal 2 huruf g
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 (No. 482 K/TUN/2003, tanggal 18-8-2004);
f)
Keputusan Rektor Perguruan Tinggi Swasta
Kaidah
hukumnya adalah bahwa hubungan hukum antara Rektor Universitas Swasta dengan
para dekan/ dosen serta lain-lain pejabat dilingkungan Universitas swasta yang
bersangkutan, bukanlah dalam arti hukum kepegawaian yang termasuk dalam hukum
publik, oleh karena itu keputusannya bukan merupakan Keputusan TUN yang dapat
digugat din Peradilan TUN.
Fakta bahwa Universitas Swasta berada dibawah
koordinasi Kopertis Departemen Pendidikan bukanlah berarti bahwa Universitas
Swasta berada dalam hierarki pemerintahan dan pegawaipegawainya berstatus
pegawai negeri, tetapi peranan Kopertis adalah dalam rangka pengawasan agar
Perguruan Tinggi Swasta dapat sudah berada dibawah koordinasi pemerintah (N. 48
PK/TUN/2002, tanggal 11-6-2004).
Posting Komentar untuk "Pembatasan Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)"