Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendapat Hukum (LegaL Opinion) Kasus Pemeriksaan Handphone oleh Aipda Ambarita kepada Seorang Pemuda saat Patroli

Kasus Posisi

Pendapat Hukum (LegaL Opinion) Kasus Pemeriksaan Handphone oleh Aipda Ambarita kepada Seorang Pemuda saat Patroli

Aipda Monang Parlindungan Ambarita tersandung aksinya sendiri bersama Tim Raimas Backbone yang kerap ditayangkan televisi swasta. Tayangan yang menampilkan kerja-kerja kepolisian itu memperlihatkan Ambarita dengan lantang meminta paksa ponsel milik seorang remaja yang sedang terjaring pemeriksaan. Tayangan itu viral dan memicu protes masyarakat terhadap aksi polisi meminta paksa ponsel warga. Polisi dianggap melanggar hak privasi warga. Ambarita akhirnya dimutasi. Aksi Ambarita itu terjadi saat melakukan operasi keamanan secara acak di kawasan Cipinang, Jakarta Timur. Dalam video viral tersebut, seorang pemuda yang terjaring operasi tersebut awalnya dihampiri oleh Bripka Rustamaji. Pemuda itu dihentikan karena tidak mengenakan helm. Rustamaji kemudian meminta pemuda itu menyerahkan ponselnya. Sang pemuda sempat menolak saat diminta oleh Rustamaji. Dia beralasan ponsel itu adalah bagian dari privasinya. Dalam perdebatan itu Ambarita datang. Dengan lantang ia justru berkata bahwa polisi punya kewenangan untuk melakukan memeriksa ponsel tersebut. Ambarita berkata salah satu tugas dan wewenang polisi adalah memeriksa identitas. Ambarita turut menyampaikan bahwa pemeriksaan ponsel ini dilakukan untuk melihat apakah ada rencana aksi tindak pidana yang mungkin dilakukan. Ambarita pun kini diperiksa oleh Bidang Propam Polda Metro Jaya terkait dugaan kesalahan prosedur tersebut.

Isu Hukum

  1. Apakah polisi berwenang menanyakan identitas dan memeriksa handphone masyarakat secara tiba-tiba di mata hukum?
  2. Apakah pemeriksaan handphone yang dilakukan oleh Aipda Ambarita kepada seorang pemuda saat patroli sudah sesuai prosedur?
  3. Apakah tindakan Aipda Ambarita demikian termasuk tindakan yang melanggar privasi secara hukum?

Dasar Hukum

1.     Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

3.     Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik;

4.  Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Analisis Hukum

Terkait soal kewenangan polisi dalam menanyakan identitas dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) bahwa penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia, yang karena kewajibannya mempunyai wewenang:

1.     menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

2.     mencari keterangan dan barang bukti;

3.     menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

4.     mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dari pasal diatas dapat disimpulkan jika polisi menyuruh berhenti seseorang karena ada kecurigaan sekaligus menanyai dan memeriksa tanda pengenal diri, dalam hal ini misalnya Kartu Tanda Penduduk (KTP), perbuatan yang dilakukan oleh Aipda Ambarita dapat dibenarkan oleh hukum.

Soal wewenang polisi memeriksa handphone, polisi dapat memeriksa handphone dalam tahap penyelidikan. Tahap penyelidikan merupakan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Untuk itu, penyelidik dalam hal ini polisi berwenang mencari keterangan dan barang bukti. Dalam hal ini, handphone merupakan barang bukti, dan informasi dan/atau dokumen elektronik yang termuat di dalamnya adalah sebagai alat bukti elektronik.

Alat bukti elektronik ini merupakan alat bukti yang sah dan termasuk perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia sesuai pasal 184 KUHAP yaitu:

  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  3. surat;
  4. petunjuk;
  5. keterangan terdakwa.

Mahkamah Konstitusi sendiri melalui putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016 menegaskan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.

Namun perlu diperhatikan soal aturan kewenangan untuk memeriksa handphone karena penggeledahan badan dalam Pasal 1 angka 18 KUHAP diartikan sebagai tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita.

Maka dapat dipahami jika penggeledahan adalah kewenangan penyidik, sehingga apabila penggeledahan dilakukan oleh penyelidik, hal tersebut harus dilakukan atas perintah penyidik sesuai dengan pasal 5 ayat 1 KUHAP. 

Dalam penggeledahan, penyidik harus mendapat surat izin ketua pengadilan negeri setempat sesuai dengan pasal 33 ayat 1 KUHAP, namun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, jika penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, maka dapat dilakukan penggeledahan seperti yang disebutkan ddalam pasal 34 ayat 1 KUHAP.

Keadaan mendesak dalam hal ini berarti, dikhawatirkan melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang bisa disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan.

Polisi yang melakukan pemeriksaan handphone adalah penyelidik, penyelidik bertujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilanjutkan penyidikan. Dengan kata lain penyelidikan bisa disebut sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.

Motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebab, sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan.

Bukti permulaan atau bukti yang cukup ini dimaknai minimal 2 alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.

Penyelidik memang berwenang untuk mencari barang bukti yakni dalam hal ini handphone dan memberhentikan seseorang yang dicurigai dan menanyai identitasnya guna mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Akan tetapi, jika penyelidik akan melakukan penggeledahan pemeriksaan handphone, ia harus terlebih dahulu mendapat perintah dari penyidik. Selain itu, tidak hanya dilaksanakan semata-mata berdasarkan kecurigaan, melainkan juga harus ditegakkan asas praduga tak bersalah pada orang yang diduga melakukan tindak pidana tersebut.

Aipda Ambarita dalam hal melakukan penggeledahan pemeriksaan handphone tidak sesuai hukum karena tidak mendapatkan langsung perintah dari penyidik sedangkan penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik sendiri harus mendapatkan surat izin dari ketua pengadilan negeri setempat dalam melakukan penggeledahan.

Lalu apakah tindakan yang dilakukan Aipda Ambarita melanggar privasi? privasi berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik merupakan kebebasan pemilik data pribadi untuk menyatakan rahasia atau tidak menyatakan rahasia data pribadinya.

Pemeriksaan handphone untuk menemukan alat bukti elektronik harus dilandasi dengan persyaratan penggeledahan dan dilakukan sesuai prosedur hukum dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah, sehingga tidak hanya berbasis pada kecurigaan atau tuduhan semata.

Hubungan antara privasi dan penggeledahan bisa ditemukan dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”):

Dalam melakukan penggeledahan orang, petugas dilarang:

a) lakukan penggeledahan tanpa memberitahukan kepentingan tindakan penggeledahan secara jelas;

b) melakukan tindakan penggeledahan secara berlebihan dan mengakibatkan terganggunya hak privasi yang digeledah;

c) melakukan penggeledahan dengan cara yang tidak sopan dan melanggar etika;

d) melakukan tindakan penggeledahan yang menyimpang dari teknik dan taktik pemeriksaan, dan/atau tindakan yang di luar batas kewenangannya;

e) melecehkan dan/atau tidak menghargai hak-hak orang yang digeledah;

f) memperlama pelaksanaan penggeledahan, sehingga merugikan yang digeledah; dan

g)  melakukan penggeledahan orang perempuan oleh petugas laki-laki di tempat terbuka dan melanggar etika.

Tidak hanya itu, setiap polisi dalam melaksanakan investigasi wajib memperhatikan penghormatan martabat dan privasi seseorang terutama pada saat melakukan penggeledahan, penyadapan korespondensi atau komunikasi, serta memeriksa saksi, korban atau tersangka.

Prinsip-prinsip yang dimaksud meliputi:

  1. setiap orang berhak mendapatkan perlindungan atas serangan yang tidak berdasarkan hukum terhadap martabat dan reputasinya;
  2. setiap orang berhak atas perlindungan terhadap privasi tentang rahasia keluarga/ rumah tangganya;
  3. setiap orang berhak atas perlindungan terhadap privasi dalam berkomunikasi dengan keluarga dan atau penasihat hukumnya;
  4. tidak boleh ada tekanan fisik atau pun mental, siksaan, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan yang dikenakan kepada tersangka, saksi atau korban dalam upaya memperoleh informasi;
  5. tidak seorang pun boleh dipaksa untuk mengaku atau memberi kesaksian tentang hal yang memberatkan dirinya sendiri;
  6.  korban dan saksi harus diperlakukan dengan empati dan penuh pertimbangan;
  7.  kegiatan-kegiatan investigasi harus dilakukan sesuai dengan hukum dan dengan alasan yang tepat; dan
  8.  kegiatan investigasi yang sewenang-wenang maupun yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan, tidak diperbolehkan.

Oleh karenanya, jika tidak dilakukan sesuai prosedur hukum, perbuatan menggeledah dan memeriksa handphone ini berpotensi melanggar privasi dan dapat dikenakan pasal 30 Ayat (1) UU ITE yang mengatur larangan: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apapun.

Sistem elektronik yang dimaksud dalam pasal ini termasuk handphone. Frasa tanpa hak juga memiliki makna bahwa tiada lain yang berhak selain kita sebagai pemilik privasi. Adapun pihak-pihak yang dikecualikan dalam situasi tertentu adalah orang yang kita izinkan dan pihak berwenang. Nah, pihak berwenang ini juga tidak sembarang.

Pihak berwenang yang dimaksud adalah penyidik. Ambarita dan tim bukan penyidik karena konteks penindakan yang dilakukan tidak dalam ranah penyidikan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan penyidikan adalah proses ketika seseorang telah jadi tersangka. Sementara, yang dilakukan Ambarita dan tim adalah patroli.

Kesimpulan

Polisi sebagai penyelidik pada dasarnya sesuai prosedur dan kewenangannya sesuai kewenangan dan prosedur hukum, penyelidik polisi memang bisa mencari, menggeledah, dan memeriksa handphone yang berhubungan dengan tindak pidana atau yang diduga telah digunakan untuk melakukan tindak pidana, guna mengumpulkan bukti permulaan, serta mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, dengan tetap wajib memperhatikan penghormatan martabat dan privasi orang yang diperiksa/digeledah.

Namun dalam kasus yang telah disebutkan di atas pemeriksaan handphone yang dilakukan Aipda Ambarita telah melanggar prosedur dalam KUHAP berkaitan degan pasal 5 ayat 1 dan  pasal 33 ayat 1 karena Aipda Ambarita tidak berlaku sebagai penyidik dan tidak memiliki surat izin dari ketua pengadilan setempat untuk melakuan penggeledahan sehingga ia tidak berwenang melakukan penggeledahan dan  pemeriksaan handphone kepada pemuda yang bersangkutan saat patroli.

Tindakan Aipda Ambarita dapat dianggap melanggar privasi sesuai dengan ketentuan UU ITE pasal 30 Ayat (1) yang mengatur larangan: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apapun.

Oleh karenanya Aipda Ambarita harus diberikan sanksi sesuai hukum yang berlaku.

Zein Sakti
Zein Sakti Orang yang mencari peruntungan di dunia blogging

Posting Komentar untuk " Pendapat Hukum (LegaL Opinion) Kasus Pemeriksaan Handphone oleh Aipda Ambarita kepada Seorang Pemuda saat Patroli"